Sejuknya udara pagi London, Inggris, seakan memberi suntikan tenaga baru buat personel J-Rocks. Semangat Iman demikian menggebu, hingga ia mengabaikan kelelahan dalam penerbangan selama 15 jam dari Jakarta ke London. Lalu melakukan window shopping sepanjang ruas Oxford Street, Regent Street, hingga Picadilly Circus.
Ketimbang beristirahat, vokalis sekaligus gitaris band J-Rocks itu memutuskan untuk mengunjungi Studio Abbey Road. ''Gue pengen ketemu Chris, ngobrol, biar tahu besok harus ngapain,'' katanya. Selain itu, J-Rocks juga ingin melakukan loading (meletakkan semua peralatan band), dengan harapan keesokan harinya mereka tinggal masuk bilik rekaman.
Namun Studio Abbey Road tidak seperti studio-studio rekaman di Tanah Air. Bila belum waktunya menggunakan fasilitas, tak diperbolehkan melakukan aktivitas apa pun di studio rekaman tersebut. Apalagi, Chris Bolster, sang engineer, yang akan ditemuinya masih cuti. ''Dia tidak bisa diganggu. Bahkan SMS ke handphone-nya nggak dijawab,'' kata Iman.
Resepsionis di Studio Abbey Road pun tidak bisa memberi informasi apa-apa, kecuali bahwa Chris sedang berlibur. Semangat Iman adalah representasi kegairahan personel band J-Rocks lainnya. Anton (drum), Sony (gitar), dan Wima (bas) memiliki gairah yang sama, meski takarannya berbeda. Ketika Iman berangkat ke Abbey Road, ketiga orang itu memilih ke Stadion Wembley, pada saat itu ada pertandingan sepak bola prakualifikasi Piala Dunia 2010, Inggris melawan Kazakstan.
Tapi mereka ingin menonton pertandingan itu, karena tiket sudah habis terjual. ''Pengen lihat hooligans,'' kata Anton, yang diangguki oleh Sony. Wima hanya tersenyum mendengar jawaban dua orang itu. Keesokan harinya, ketiga orang itu bercerita bagaimana nyali mereka ciut demi melihat ribuan fans kesebelasan Inggris. ''Kami sampai beli atribut Inggris biar aman,'' tutur Anton.
Sabtu itu, jadwal J-Rocks memang bersih, belum ada kegiatan apa-apa. Mereka baru dijadwalkan masuk Studio Abbey Road hari Minggu hingga lima hari berikutnya. Itu juga yang membuat Iman dan kawan-kawan ingin menyegarkan diri sebelum bekerja keras di studio legendaris tersebut. J-Rocks seakan tidak mau kesempatan emas itu berantakan karena mereka tidak melihat dari dekat Stadion Wembley, misalnya.
Sejak didaulat menjadi band dengan penampilan terbaik pada ajang ''A Mild Live Soundrenaline 2008'', dan mendapat hadiah berupa kesempatan melakukan rekaman di London, yang ada di kepala empat pemuda itu adalah rasa girang luar biasa. ''Kami sangat excited dengan kesempatan ini,'' kata Anton. ''Sejak dulu, mimpi kami adalah menjadi band sebesar The Beatles, rekaman di Abbey Road, dan berkunjung ke Liverpool,'' Iman melanjutkan.
Berdiri pada 9 November 2003, dua dari tiga mimpi tadi direngkuh J-Rocks dalam sekali jalan. Selain rekaman di Abbey Road, band ini juga mendapat kesempatan mengunjungi kota kelahiran The Beatles dan melihat-lihat The Beatles Story Museum di Albert Dock, Liverpool, meski harus menempuh perjalanan darat selama hampir lima jam.
Bonusnya, terutama buat Sony, ialah mengunjungi Stadion Anfield, markas Liverpool, klub kesayangan sang gitaris ini. Sony makin luar biasa senangnya memiliki seragam away resmi Liverpool dengan namanya tercetak di punggung. Kunjungan ke Liverpool adalah hiburan bagi personel J-Rocks setelah lima hari praktis terkurung di balik dinding studio.
Maklum, perhitungan waktu rekaman di studio itu berbeda dengan di Tanah Air. Satu shift di Studio Abbey Road berdurasi 12 jam. Dimulai pukul 10 pagi, J-Rocks baru kembali ke penginapan di atas pukul 22.00. Tak mengherankan bila mata Iman terlihat berkaca-kaca ketika mengunjungi museum tadi. ''Akhirnya mimpi menginjak Liverpool tercapai,'' katanya.
Proses rekaman hari pertama sempat terganggu oleh persoalan minor. Kick drum yang diminta Anton ternyata tidak sesuai dengan riders. ''Gue minta yang berdiameter 24 inci, tapi nggak ada,'' ujar Anton. Chris Bolster pun ikut bete melihat kekurangan itu. Berulang kali ia meminta maaf kepada anak-anak J-Rocks. Ketika akhirnya kick berukuran 26 inci ada, Anton kegirangan. ''Wah, ini akan makin keren,'' katanya dengan mata berbinar.
Kejadian itu memberi pelajaran penting buat anak-anak J-Rocks. Pasalnya, seorang Chris Bolster, yang memiliki rekam jejak panjang (hasil karyanya tersebar di sejumlah band besar macam Blur, Starsailor, Travis, Lamb, dan yang paling baru bisa didengar di album terbaru Oasis, ''Dig Out Your Soul''), dan nama yang harum di kalangan sound engineer dunia, masih mau turun tangan membantu Anton membangun drum set. Ia juga tidak sungkan menggotong kabinet untuk amplifier yang akan dipakai Wima.
Itu proses ice breaking terbaik yang diperoleh anak-anak J-Rocks. Satu pelajaran penting lain di hari pertama itu: pergunakan peralatan yang memang dikenali dan dipakai selama ini. Ini yang terjadi pada Iman dan Sony. Karena Iman tidak hadir pada saat manajemen J-Rocks memutuskan peralatan apa yang akan diminta pada Chris, ia akhirnya harus menyisihkan cukup banyak waktu untuk mengulik ampli Orange Rockerverb 50. ''Pada waktu latihan di Jakarta udah nemu sound yang pas pakai Fender Twin Reverb,'' ungkapnya.
Beruntung, persoalan yang dihadapi Sony tidak serumit Iman. Ia hanya berhadapan dengan efek gitar, yang baru dibelinya, dan sedikit rewel di awal. Lewat sedikit penyetelan, masalah itu bisa diatasi. Wima pun tak urung dilanda masalah. Ampli Orange AD-200B, yang bekerja baik ketika latihan, belakangan --ketika hendak rekaman-- mengalami masalah. ''Akhirnya kembali ke Ampeg, yang memang gue pengen,'' katanya.
Di atas semua itu, persoalan minor yang dihadapi personel J-Rocks adalah tambahan pengalaman dan pelajaran penting serta kesempatan untuk beradaptasi dengan atmosfer Studio Three, satu dari tiga studio rekaman yang ada di Abbey Road. Maklum, meski bukan studio yang menjadi langganan The Beatles, tetap saja ada nuansa magis di dalamnya. Apalagi demi melihat mixer Solid State Logic J-9000, yang memiliki 96 kanal, yang berada di ruang kendali.
''Di Indonesia, barang begini belum ada,'' kata Tommy P. Utomo, sound engineer Aquarius Musikindo, perusahaan rekaman yang memayungi J-Rocks, yang ikut menemani J-Rocks. ''Di Aquarius ada yang tipe di bawahnya, J-4000,'' Tommy melanjutkan. Ditambah dengan dua pasang speaker surround Bowers & Wilkins tipe Nautilus 801, yang harganya selangit, Studio Three makin menyodorkan suasana serius, tidak boleh main-main. Personel menyadari hal itu. Makanya, mereka ikut-ikutan serius.
Di ruang rekaman, nuansa magisnya lebih kuat. Sejumlah mikrofon kelas satu bertebaran ditodongkan ke drum set, ampli gitar yang dipakai Iman dan Sony, serta ampli bas. Belum lagi yang diletakkan di antara drum set dan partisi akustik. Mikrofon itu bervariasi, mulai Bruel & Kjaer, AKG, Neumann, hingga Schoeps. Abbey Road memang dikenal sebagai gudangnya mikrofon canggih.
Di bawah kendali Chris Bolster, mikrofon tadi makin memperlihatkan kelasnya. Meski mengaku tidak membuat desain khusus untuk peletakan mikrofon-mikrofon itu, yang dikerjakan Chris patut diacungi jempol. ''Suara drum benar-benar terdengar nge-rock,'' kata Tommy. Pria berbadan gempal ini mengaku cukup sulit mendapatkan hasil rekaman sebaik yang dilakukan Chris. ''Sekarang gue tahu caranya,'' ujarnya, bangga.
Anton merasakan hal yang sama. ''Bunyi kick terdengar menyambung dengan semua tom, tidak lagi berdiri sendiri,'' tutur Anton, yang putra mendiang Rudy Kelces, pesepak bola legendaris Indonesia. Pendapat ini diangguki Wima, mitra Anton dalam membangun rhytm section lagu. ''Perkawinan bas dan drum terasa enak dan saling lebur,'' katanya.
Semua itu membuat personel J-Rocks seperti mendapat tambahan energi. Pada sesi latihan, mereka seperti hanya mendapat satu kesempatan. Di sesi itu saja, sebenarnya mereka sudah tampil kompak, hampir tidak melakukan banyak kesalahan. Kekompakan ini boleh jadi karena J-Rocks sudah mempersiapkan diri jauh sebelum keberangkatan ke London.
Menggunakan studio rekaman milik Aquarius, J-Rocks berlatih empat komposisi yang akan direkam di Abbey Road selama sebelum dan sesudah Lebaran lalu. Tak hanya sampai di situ, J-Rocks bahkan sampai pada penempatan posisi tiap-tiap personel. ''Posisi mereka di Studio Three sama dengan yang kami simulasikan di Aquarius,'' kata Tommy. Persiapan seserius itu ditempuh karena J-Rocks ingin melakukan rekaman secara live, berbarengan. Bukan per instrumen seperti yang lazim dilakukan.
Lagi-lagi, itu tambahan bukti keseriusan band ini memanfaatkan kesempatan yang diberikan A Mild. Maklum, di antara ''curhat'' personel J-Rocks, ada semacam kegalauan atas kritik yang dilontarkan band-band lain kepada Iman dan kawan-kawan. ''Kami sempat diberondong pertanyaan soal kepantasan rekaman di Abbey Road,'' ujar Anton. Mereka bukannya ciut, kritik itu malah dijadikan cambuk untuk mempersiapkan diri, meski mereka harus merelakan libur Lebaran yang lebih panjang.
Kesiapan macam itulah yang membuat J-Rocks mulus menjalani tiga hari rekaman di Studio Three (dua hari berikutnya dialokasikan untuk proses mixing). Proses rekaman itu makin mulus karena sebelumnya J-Rocks mengirim data audio kepada Chris. Empat komposisi yang direkam itu, masing-masing Fallin' In Love (dibuat dalam versi bahasa Indonesia dan Inggris), Hanya Aku, Meraih Mimpi, dan Intro (sebuah komposisi instrumentalia), dapat dikerjakan J-Rocks sesuai dengan jadwal.
Kendala utama yang dihadapi Chris ialah bahasa. Meski tidak sampai harus menggunakan ''bahasa Tarzan'', percakapan personel J-Rocks dengan Chris terdengar janggal. Ketika salah memukul permukaan drumnya, Anton minta rekaman diulang dengan cara mengangkat tangan dan berucap: ''Sorry, I misspunch the drum.'' Atau, ada istilah dan kosakata dunia rekaman yang belum 100% dimengerti personel J-Rocks. Untunglah, semua itu tidak sampai menimbulkan kesalahpahaman mendasar.
J-Rocks makin percaya diri selama di Abbey Road, karena mereka mendapat dukungan dari warga Indonesia yang ada di London. Seperti band yang sudah sangat kondang, hampir setiap hari J-Rocks menerima tamu di antara waktu rehatnya. Demikian pula ketika J-Rocks tampil di hadapan Yuri Octavian Thamrin, Duta Besar RI untuk Inggris Raya, puluhan warga Indonesia hadir di KBRI di kawasan Grosvenor Square. Untuk membalas semua itu, J-Rocks memperdengarkan untuk pertama kalinya lagu Fallin' In Love.
Antusiasme warga Indonesia di London itu bisa dimaklumi. Tak lain karena J-Rocks menorehkan sejarah baru bagi industri musik Tanah Air. J-Rocks adalah band Indonesia pertama yang merekam komposisi mereka di Abbey Road, studio terbaik dan termahal di dunia. Sebelumnya, memang ada Erwin Gutawa. Namun ia datang ke Abbey Road untuk menjadi dirigen bagi orkestra lain.
Selain merekam komposisi terbarunya, J-Rocks juga memanfaatkan kesempatan itu untuk membuat klip video. Sayang, di bagian ini J-Rocks menghadapi cukup banyak kendala. Pertama, soal kostum. J-Rocks sudah menyiapkan kostum dan pernak-perniknya untuk klip video lagu Hanya Aku, tapi belakangan pihak Aquarius memilih tembang Fallin' In Love. Walhasil, mereka harus berbelanja cepat dan murah terlebih dulu di Primark.
Lalu mereka juga berhadapan dengan cuaca London yang tidak pernah bisa ditebak. Di pagi hari bisa terlihat cerah, tapi siang hingga sore hari berubah mendung. Untunglah, ketika giliran syuting outdoor, personel J-Rocks tidak perlu tampil. Jadi, mereka tidak perlu berlama-lama diempas angin dingin kota London, yang kadang suhunya bisa mencapai 5 derajat celsius.
Merekonstruksi penyeberangan oleh The Beatles di zebra cross Abbey Road adalah cita-cita lain personel J-Rocks. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Heathrow, keinginan itu mulai masuk dalam obrolan di antara seluruh anggota rombongan. Bahkan J-Rocks sampai melakukannya hingga dua kali, di hari pertama rekaman dan hari terakhir.
Sayang, mereka harus berbagi zebra cross dengan banyak turis, yang memiliki keinginan sama. Sejak dulu, penyeberangan ini memang menjadi objek wisata bagi para turis yang menyukai The Beatles. Pengemudi kendaraan yang melewati jalan itu sepertinya sudah maklum atas ulah para turis tersebut. Dengan sabar mereka menunggu aksi penyeberangan itu sebelum melanjutkan perjalanan.
Menorehkan nama (band dan personel) di dinding pagar depan Abbey Road adalah sebuah ritual lain yang wajib dilakukan penggemar The Beatles dari seluruh dunia ketika mengunjungi studio ini. Itu pula yang dilakukan personel J-Rocks, yang menuliskan nama pacar mereka masing-masing. Grafiti ini biasanya dibiarkan selama sebulan sebelum kembali dilamur cat putih.
Tempat yang wajib dikunjungi berikutnya ialah sebuah toko kecil di luar pemberhentian kereta bawah tanah di St. John's Wood. Meski kecil, toko itu adalah gerai resmi bagi merchandise The Beatles ataupun Studio Abbey Road. Karena memang berhenti di sana, hampir tiap hari personel J-Rocks melongok-longok isi toko itu, meski masing-masing sudah membeli poster tiga dimensi cover album ''Abbey Road''.
Semua pengalaman itu membuat personel J-Rocks makin bersyukur. ''Tiap malam, sepulang dari studio, salah satu bahan obrolan kami berisi ungkapan soal keberuntungan mendapat kesempatan rekaman di Abbey Road,'' ungkap Iman. Dalam usianya yang masih muda, prestasi J-Rocks memang senantiasa menunjukkan grafik peningkatan.
Lima tahun lalu, mereka adalah band yang dibentuk untuk mengikuti sebuah ajang pencarian bakat (meski Wima kurang setuju dengan tujuan macam itu). Garis nasib menuntun mereka berkenalan dengan Sigit, yang belakangan menjadi manajer mereka hingga sekarang. Dewi Fortuna juga yang membuat mereka menjadi jawara dalam kompetisi itu dan memenangkan kontrak rekaman dengan Aquarius Musikindo. Siapa sangka, setelah menelurkan dua album, J-Rocks sampai di Abbey Road?
Personel J-Rocks sendiri kadang ragu dengan kekuatan lagu mereka. ''Kami belum apa-apa,'' kata Iman. Namun fakta terbentang mulai dari Malang, Yogyakarta, hingga London. Banyak orang yang menyukai karya J-Rocks.
Selain tambahan J-Rockstars (julukan untuk penggemar J-Rocks) baru ketika tampil di KBRI, dan The Fly, di sebuah klub di kawasan New Oxford Street, mereka juga menuai fans ketika tampil di hadapan masyarakat Brunei di London. Mereka memberi sambutan hangat dan bahkan mengundang band ini untuk kembali tampil tahun depan. Sebuah undangan yang disambut antusias oleh Anton, Iman, Sony, dan Wima. Mengapa tidak?
0 komentar:
Posting Komentar